SEKOLAH YANG MENGGAIRAHKAN
Oleh Ied Arianti, S.Pd
Perkembangan
otak yang paling pesat terjadi pada rentang usia 0-8 tahun, baik secara fisik
maupun intelektual. Delapan puluh persen perkembangan otak terjadi antara usia
nol sampai dengan enam tahun. Selama rentang waktu tersebut, IQ anak dapat
melonjak secara drastis jika memperoleh rangsangan yang tepat dari orangtua
maupun pengasuh di day-care -kita menyebutnya TPA-dan play-group.
Selanjutnya, peran strategis tersebut dipegang oleh guru TK dan SD kelas bawah,
yakni kelas satu sampai dengan kelas tiga (itu sebabnya, perencanaan kurikulum
TK perlu dikerjakan bersama dalam satu kesatuan dengan penyusunan kurikulum
SD). Inilah masa paling penting untuk membangun budaya belajar. Jika pada masa
ini anak sudah memiliki budaya belajar yang tinggi, anak akan mudah mempelajari
kecakapan belajar (learning skills) pada periode berikutnya, yakni
orientation stage, termasuk membangun orientasi hidup maupun orientasi
akademiknya.
Jadi, yang perlu kita bangun pada
masa awal perkembangan anak di sekolah adalah budaya belajar (learning
culture). Bukan sekedar kebiasaan belajar (learning habit) dimana
anak belajar karena sekolah memang menciptakan lingkungan akademik yang
menuntut anak belajar, termasuk di dalamnya memberikan tugas-tugas. Setingkat
lebih baik adalah munculnya kebiasaan belajar karena lingkungan akademik yang
merangsang gairah anak belajar. Anak bersemangat di sekolah sehingga kegiatan
belajar terasa menyenangkan.
Apakah sebenarnya semangat itu?
Keterlibatan emosi saat melakukan suatu kegiatan sehingga kita merasakan
situasi yang mengalir. Keadaan ini bisa terjadi karena hati kita yang gembira,
peristiwa sebelumnya yang meluapkan perasaan positif, suasana yang
menyenangkan, guru-guru yang mengajar dengan antusiasme yang menyala-nyala,
rancangan lingkungan fisik sekolah yang menggugah, dan berbagai aspek lain yang
mempengaruhi emosi saat belajar. Semakin tinggi keterlibatan emosi saat
belajar, semakin efektif otak kita bekerja. Belajar seharian penuh, tetapi anak
merasakannya seperti bermain. Asyik dan menyenangkan.
Sekolah yang menerapkan model belajar
sehari penuh (full day), harus memperhatikan ini. Sekolah harus
merancang kegiatan pembelajaran yang menyenangkan, antusias dan positif agar
anak memiliki semangat menyala-nyala saat belajar. Jika tidak, anak bisa
mengalami stress karena beban belajar yang melampaui "ambang kesanggupan
mental". Stress yang berlangsung secara terus-menerus bukan saja
melemahkan kemampuan anak. Lebih dari itu, stress berkelanjutan merusak mental
dan kepribadian.
'Alaa kulli hal, ada hal
lain yang perlu kita perhatikan. Suasana belajar yang menyenangkan, guru-guru
yang mengajar dengan penuh antusiasme dan rangsangan fisik sekolah yang
menggugah memang mempengaruhi emosi anak. Mereka belajar dengan penuh semangat.
Tetapi semangat yang meluap-luap hanyalah bekal awal. Perlu ada upaya terencana
membangun motivasi anak -tidak terkecuali guru-sehingga melahirkan budaya
belajar yang kuat.
Istilah motivasi sering jumbuh dengan
semangat. Saya sendiri kadang menggunakan dua istilah tersebut secara tidak
tepat. Jika semangat adalah keterlibatan emosi saat melakukan aktivitas, maka
motivasi adalah alasan yang menggerakkan seseorang untuk bertindak. Semakin
kuat motivasi seseorang, semakin menyala semangatnya. Artinya, motivasi
merupakan salah satu faktor pemacu semangat anak. Semakin kuat motivasi,
semakin menyala-nyala semangat dalam diri anak.
Budaya belajar (learning culture)
sangat dipengaruhi oleh kekuatan motivasi. Jika anak memiliki alasan yang kuat
untuk bertindak, dan alasan itu mengakar dalam dirinya, maka ia akan memiliki
energi untuk terus belajar. Semakin kuat ia membentuk budaya belajar dalam
dirinya, semakin tangguh semangatnya menggali ilmu meskipun lingkungan
sekeliling tak sebaik dulu. Ini berarti, kuatnya budaya belajar menjamin
berlangsungnya kebiasaan belajar (learning habit) hingga jenjang
pendidikan berikutnya, meskipun suasana belajar di jenjang tersebut tak
sebaiknya jenjang sebelumnya.
Inilah yang perlu kita sadari ketika
ingin mengembangkan budaya belajar. Lingkungan yang mendukung memang sangat
perlu. Guru-guru yang ramah, hangat dan bersahabat juga tak dapat
ditawar-tawar. Begitu pula lingkungan fisik sekolah yang merangsang minat
belajar, betapa pun sederhananya, sangat diperlukan.
Tetapi.Tanpa membangun motivasi
intrinsik yang kuat, anak-anak itu bisa kehilangan gairah belajarnya -bahkan
perilaku positifnya-begitu mereka memasuki jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Ketika masih berada di jenjang sekolah dasar, semangat belajarnya
sangat tinggi dan prestasi akademiknya menakjubkan. Begitu memasuki jenjang
pendidikan berikutnya, minat belajar ambruk dan perilakunya kurang terarah
karena -misalnya-anak kecewa dengan sekolah barunya.
Pada kasus seperti ini, kita bisa
menyalahkan jenjang pendidikan berikutnya. Tetapi sekolah sebelumnya, yakni SD,
tetap ikut bertanggung-jawab atas kegagalannya membangun motivasi siswa.
Keadaan ini bisa terjadi, antara lain karena pihak SD tidak bisa membedakan
-atau sengaja tidak membedakan-antara kebiasaan belajar dan budaya belajar.
Mirip sekali wujudnya, lain sekali hakekatnya.
Apa yang diperlukan untuk membangun
motivasi intrinsik anak? Banyak hal. Yang sangat pokok adalah menanamkan
keimanan yang aktif. Maksud saya, sekolah mengajarkan 'aqidah kepada anak bukan
hanya sebagai pengetahuan kognitif. Lebih dari itu, sebagaimana sifat ayat-ayat
yang pertama diturunkan -secara umum ayat-ayat Makkiyah-menggerakkan mereka
untuk bertindak karena Allah dan untuk Allah Yang Menciptakan. Sekolah
menggerakkan jiwa anak-anak untuk meneguhkan diri bahwa shalatnya, 'ibadahnya,
hidupnya dan matinya hanya karena dan untuk Allah 'Azza wa Jalla semata.
Artinya, 'aqidah yang kuat menjadi
daya penggerak (driving force) bagi anak untuk bertindak dan
menentukan arah hidup. Agar guru mampu menanamkan keimanan yang aktif dengan 'aqidah
shahihah, tak dapat ditawar-tawar lagi 'aqidah mereka juga harus kuat.
Sedemikian kuatnya sehingga ketika berbicara, yang berkelebat dalam benaknya
bukan sekedar teknik berbicara, tetapi sudah menyatu dalam dirinya kata-kata
bertenaga yang menggelorakan motivasi anak-anak dan membakar semangat mereka
untuk melakukan yang terbaik. Kata-kata ini mengalir setiap saat karena memang
sudah menyatu dalam diri guru.
Di luar itu, secara terencana sekolah
dapat mengadakan kegiatan yang secara khusus dimaksudkan untuk membangun
motivasi anak, baik yang bersifat harian, mingguan, bulanan, tahunan atau
berdasar rencana kegiatan insidentil. Motivasi harian misalnya diwujudkan dalam
bentuk kegiatan apel motivasi setiap pagi.
Selebihnya, guru perlu memberi
tantangan yang cukup agar motivasi tersebut tertanam lebih kuat. Tanpa
tantangan, anak tidak belajar hidup dalam "dunia nyata". Apalagi jika
mereka hanya kita besarkan dengan fasilitas, tanpa tantangan akan membuat mereka
seperti ayam sayur. Bukan ayam kampung yang tak jatuh oleh panas dan tak
tersungkur oleh hujan.
Artinya, harus ada keseimbangan
antara fasilitas dan tantangan. Awalnya tantangan sederhana yang bersifat
fisik, lalu secara berangsur kita hadapkan pada tantangan yang lebih memeras
pikiran dan tenaga. Pada akhirnya, kita tumbuhkan pada diri mereka kepekaan
untuk membaca tantangan bagi keyakinan dan ummat ini
Comments
Post a Comment